Nampaknya para pengelola dakwah sekolah sangat perlu mencermati masalah yang satu ini. Penulis teringat ketika, beberapa tahun silam pernah terlibat dalam sebuah kegiatan dakwah sekolah bertajuk
“Dahulukan Dakwah, Utamakan Sekolah!”, sebuah tema yang sangat familiar dikalangan ADS karena terlalu seringnya kita dawamkan kepada para ADS agar senantiasa menjaga keseimbangan antara aktivitas dakwah dengan tanggungjawab akademis mereka di sekolah.
Memang, fenomena klasik berbenturannya aktifitas dakwah dengan tuntutan akademik sudah sejak lama dialami oleh para ADS, bahkan bukan hanya terjadi dalam lingkup dakwah sekolah saja melainkan juga lazim terjadi dalam lingkup dakwah kampus. Ibarat sedang mengarungi lautan, kita anggap saja fenomena ini sebagai sebuah badai yang mau tidak mau harus kita hadapi sebagai sebuah resiko kita dalam mengarungi lautan bernama dakwah sekolah.
Biasanya, fenomena ini akan muncul setiap kali mendekati masa ujian semester, kenaikan kelas dan semakin menjadi dilema bagi ADS tingkat 3 [Kelas XII] yang akan segera berhadapan dengan ujian nasional. Layaknya badai, dampaknya pun begitu nyata terlihat dengan berkurangnya intensitas keaktifan para ADS dari kancah kegiatan dakwah sekolah [Rohis]. Perlahan tapi pasti, berangsur mereka beralih konsentrasi dari mengurusi Rohis ke urusan akademik, karena mereka akan berhadapan dengan ujian akademis dimana harapan besar orangtua agar anaknya meraih prestasi terbaik yang menjadi taruhannya.
Layaknya badai pula, biasanya fenomena ini pun akan segera berlalu seiring dengan berakhirnya momentum ujian-ujian tersebut. Para ADS akan bergairah kembali menghidupkan agenda Rohis hingga kemudian aktifitas dakwah pun perlahan akan kembali membaik seperti sediakala.
Namun, beberapa tahun belakangan nampaknya badai akademis yang menerpa para ADS terlalu besar, hingga begitu sulit menata kembali semangat untuk bangkit menggiatkan agenda-agenda dakwah kembali. Bahkan, Rohis dibeberapa sekolah kini telah benar-benar hilang tersapu badai akademis menyusul para ADS-nya yang telah lebih dulu tenggelam ditelan badai yang sama. Mari kita cermati betapa besar pengaruhnya badai akademis tersebut.
Badai akademis ini dimulai sekitar enam tahun silam ketika pemerintah [Depdiknas, saat itu] memperkenalkan sebuah sistem Ujian Nasional dengan disertai standar nilai tertentu sebagai penentu kelulusan seorang siswa. Terlepas dari segala nilai positif yang coba diwujudkan oleh pemerintah melalui sistem ini, kenyataannya sistem ini menuai banyak reaksi kontra dikalangan masyarakat. Mulai dari banyaknya penyelewengan dalam pelaksanaannya hingga masalah penerapan sistem yang sulit dilakukan secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini, justru semakin memperkeruh sistem yang ada. Hingga akhirnya muncullah wacana peniadaan UN yang sempat memanas beberapa waktu lalu, kekisruhan ini untuk sementara berakhir dengan keluarnya peraturan terbaru Kementerian Pendidikan Nasional Nomor 45 tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik Pada tingkat SLTP dan SLTA Tahun Pelajaran 2010/2011 yang menyatakan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa.
Bagaimanapun akhir dari kekisruhan sistem pendidikan tersebut, yang jelas kekisruhan selama lima tahun belakangan ini berdampak sangat signifikan terhadap keberlangsungan dakwah di sekolah. Dengan berlarut-larutnya masalah tersebut telah cukup membuat Dakwah Sekolah kita kalang kabut.Disadari atau tidak, bertambahnya beban akademis yang diberikan kepada pelajar menjadi salahsatu menurunnya performa dakwah sekolah kita beberapa tahun belakangan ini.
Dengan dalih mengejar standar nasional tersebut, mulailah beberapa sekolah menambahkan beban akademis bagi siswanya dengan beragam program yang tentunya membutuhkan waktu dan perhatian yang lebih dari para siswa. Bahkan, di banyak sekolah kini jam sekolah diperketat pengawasannya. Pernah seorang rekan mengalami tindakan “pengusiran” saat melaksnakan mentoring rutin selepas jam pulang sekolah, padahal sebelumnya kegiatan mentoring merupakan kegiatan yang telah sangat lumrah dilakukan di sekolah tersebut, dengan alasan sterilisasi lingkungan sekolah agar para siswa cepat pulang ke rumah dan punya waktu lebih banyak untuk belajar. Kejadian ini ternyata juga dialami oleh beberapa rekan pengelola dakwah di sekolah yang lain, kadang hari Sabtu yang memang di beberapa sekolah telah disepakati sebagai hari kegiatan ekstrakurikuler pun siswa masih dijejali dengan bergam kegiatan akademis tambahan. Kalaupun berjalan, kegiatan ekstrakurikuler biasanya dibatasi hanya sampai pukul 12.00 siang, lagi-lagi dengan alasan peningkatan waktu belajar.
Selain kebijakan pihak sekolah yang semakin over protective, ternyata badai ini juga menyebabkan pola pikir dari para siswa [objek dakwah sekolah] itu sendiri kini berubah menjadi semakin study oriented, termasuk para ADS juga tak luput terkena imbasnya. Objek dakwah yang terlalu study oriented akan menyulitkan kita dalam melakukan rekrutmen-rekrutmen dakwah, karena rasa-rasanya produk dakwah yang kita tawarkan tak mampu mengalihkan perhatian mereka dari beban akademis yang mereka hadapi. Sedangkan, ADS yang terlalu study oriented, akan membuat agenda-agenda dakwah terbengkalai. Namun, kurang bijak pula jika kita memaksa para ADS untuk berkonsentrasi penuh mengurusi dakwah sekolah sementara tanggungjawab akademis hari demi hari semakin berat dibebankan kepada mereka.
Hingga kini, badai akademis terus melanda kita, dan nampaknya belum juga akan mereda. Saudaraku, bagaimanakah kiat terbaik agar Rohis tetap eksis ditengah badai akademis??
Islamedia-